MENGENAL BIAS GENDER YANG TAK DISADARI

Adhea Vinora Putri
4 min readJun 21, 2021

--

Photo from Pinterest

Kemajuan zaman membawa keterbukaan pola pikir masyarakat. Isu serta problematika pada masyarakat semakin berkembang dan rumit. Sejak munculnya feminisme pada abad-18 di negara-negara barat yang membawa perubahan mengenai kesetaraan gender di Indonesia yang saat ini sedang hangat diperbincangkan dan diperdebatkan di tengah masyarakat khususnya kaum millennials.

Hingga saat ini masyarakat masih kurang dapat memahami gender dan sex. Apalagi dengan terbawanya kultur masyarakat yang sejak lama memaknai bahwa gender dan sex adalah hal yang sama, sehingga menempatkan baik perempuan maupun laki-laki secara tidak adil. Maka dari itu mari mengenal terlebih dahulu tentang perbedaan gender dan sex sebelum masuki bias gender yang selama ini belum diketahui oleh masyarakat luas.

Seks yang berarti jenis kelamin, yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis. Contohnya jenis kelamin perempuan memiliki vagina, Rahim, dapat menyusui dan melahirkan. Sedangkan jenis kelamin laki-laki memiliki penis, dan memproduksi sperma.

Gender adalah suatu sifat yang ada apa perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural pada masyarakat. Contohnya, perempuan makhluk perasa, sedangkan laki-laki lebih memakai logika. Perempuan lemah lembut sedangkan laki-laki kuat dan perkasa. Dan salah satu contoh yang sering kita temui sejak kecil mengenai bias gender ini yakni pada buku pelajaran, seperti “Ayahku pergi bekerja, sedangkan ibuku sedang menjahit pakaian”. Konsep gender ini dapat berubah, tergantung sistem sosial masyarakatnya.

Menurut Rianingsih Djohani (1996:7) bahwa yang dimaksud dengan gender adalah: “Pembagian peran, kedudukan dalam tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat”

Maka pengertian Bias Gender itu sendiri adalah suatu kondisi ketidakadilan yang memihak dan merugikan salah satu jenis gender, baik keadaan, posisi dan kedudukannnya. Hal ini dapat terjadi kepada laki-laki maupun perempuan. Faktor terjadinya bias gender karena kultur yang dibawa sejak dulu dengan adanya stereotype masyarakat serta struktur sosial yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang merugikan. Sehingga terjadinya diskriminasi gender yang berujung pada ketidaksetaraan gender.

Adapun berbagai macam bentuk ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan (violence), beban ganda (double burden) (Faqih, 1996).

Mari kita ulik satu persatu secara singkat dari bentuk ketidakadilan gender tersebut.

Marginalisasi adalah proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Mengapa bisa sampai mengakibatkan kemiskinan? Hal ini terjadi karena konsep gender dan seks dimaknai sama. Contoh kecilnya yang cukup ssering kita dengar yakni, pada kehidupan rumah tangga seorang perempuan yang bekerja dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Lalu contoh selanjutnya seperti tingkat Pendidikan yang rendah pada perempuan akan mendapatkan gaji yang rendah juga.

Subordinasi adalah anggapan suatu peran yang dilakukan oleh suatu jenis kelamin lebih rendah dari yang lainnya. Penyebabnya yakni nilai-nilai sosial dan budaya di masyarakat yang sudah ada sejak lama tentang peran laki-laki dan perempuan.

Stereotype suatu anggapan yang sering ada pada masyarakat yang dijadikan sebuah label atau cap kepada suatu kelompok yang pada dasarnya anggapan itu belum tentu benar pada kenyataannya. Pelebelan digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu Tindakan atau sikap kepada suatu kelompok tertentu. Pada masyarakat sering terjadi stereotype atau pelebelan dalam bentuk negatif.

Kekerasan (violence) merupakan tindak kekerasan baik fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lainnya. Anggapan perempuan itu harus feminim dan laki-laki harus maskulin menunjukan ciri-ciri psikologis seperti perempuan lemah lembut dan laki-laki gagah dan berani. Pemahaman gender yang keliru serta anggapan yang seperti itu sering menjadikan sebuah alasan untuk berbuat tindak kekerasan.

Beban ganda (double burden) yaitu sebuah beban pekerjaan yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak atau berat dibanding jenis kelamin lainnya. Seperti peran reproduksi perempuan sering dianggap peran yang memang sudah wajib atau kodratnya. Walaupun sudah adanya peningkatan jumlah pekerja perempuan di ranah publik, namun beban pekerjaan diwilayah domestik tetap tidak berkurang.

Segala bentuk ketidakadilan gender tersebut masih terjadi disetiap lingkup masyarakat dan berbagai kalangan. Dalam ranah hukum, terdapat beberapa ketentuan yang dianggap bias gender atau dinilai mencerminkan ketidakadilan gender. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 ayat (3) “Suami adalah kepala keluarga dan Istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal tersebut dinilai Bias Gender. Sebab pada kenyataannya banyak perempuan di Indonesia yang menjadi kepala keluarga. Pasal tersebut juga dinilai tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi seorang kepala keluarga dan mengandung stereotype terhadap laki-laki dan perempuan dengan membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut Pasal 285 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang isinya “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia diluar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pasal tersebut dinilai bias gender terhadap laki-laki, sebab seakan-akan pelaku pemerkosaan selalu laki-laki. Pada kenyataannya laki-laki juga dapat menjadi korban pemerkosaan dan perempuan juga dapat menjadi pelaku pemerkosaan.

Bagaimana kita menyikapi Bias Gender di tengah masyarakat yang masih awam mengenai permasalahan ketidakadilan gender?

Sebisa mungkin, kita sebagai kaum millennials maupun Gen Z lebih bisa terbuka dan aware terhadap isu-isu yang sekarang menjadi perdebatan di masyarakat khususnya antara laki-laki dan perempuan. Dengan memperjuangkan keseimbangan gender, menguntungkan kedua gender, memberikan kesempatan yang sama terhadap kedua gender, dan tentunya menegakan keadilan bagi kedua gender. Sebab masih banyak masyarakat khususnya di Indonesia yang masih tidak paham bahkan tidak peduli dengan permasalahan ini.

Mari melihat aku, kamu, kami, kita sebagai seorang manusia bukan dari sebuah gender!

Referensi:

Rahminawati, Nan. 2001. “Isu Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan (Bias Gender)”. Mimbar No. 3 Tahun XVII.

Afandi, Agus. 2019. “Bentuk-Bentuk Perilaku Bias gender”. Journal of Gender and Children Studies Vol.1. Universitas Islam Negeri Surabaya.

Zairin, Harahap. 2003. “Menggugat Hukum Yang Bias Gender”. Jurnal Hukum No. 22 Vol. 10.

Supardjaja, Komariah Emong. 2017. “Laporan Akhir Kompendium Tentang Hak-Hak Perempuan”

HMPSFIS. 2019. Diakses pada 19 Juni 2021. “Feminisme: Sejarah, Kodrat, Hak Yang Dibela”. http://hmpsfis.student.uny.ac.id/2019/04/04/feminisme-sejarah-kodrat-hak-yang-dibela/

--

--

Adhea Vinora Putri
Adhea Vinora Putri

Written by Adhea Vinora Putri

0 Followers

Undergraduate Communication Science — based on several issues by taking journal sources and elements of opinion.

No responses yet